Thursday, December 19, 2019

Setidaknya Aku Sudah Berusaha Memberitahumu, Meski Hari Ini Libur

Setidaknya Aku Sudah Berusaha Memberitahumu, Meski Hari Ini Libur

Baca cerita sebelumnya di sini



"Bagaimana jika bumi yang sedang kita pijak ini benar-benar bulat seperti bola, dan yang menciptakannya barangkali sebuah perusahaan yang lebih besar dari adidas, dan andai seperti itu, kita bisa saja membayangkan Ronaldo yang besarnya dua juta kali lipat akan menendang kita dengan kaki bajanya. Jika itu benar-benar terjadi apa yang mau kau lakukan?"

Asal kau tahu saja, aku mengenal lelaki itu lewat sebuah aplikasi kencan. Tidak seperti orang-orang nyleneh yang membosankan, pertanyaan pertama yang dia kirim setelah tanpa sengaja ibu jariku menggerakan sendinya ke kanan adalah hal yang tidak terpikirkan oleh manusia normal yang beriman. Tapi tidak seperti orang lain, aku menyukai hal-hal bodoh dan sia-sia, dan pertanyaan di atas jelas-jelas menunjukan seberapa tidak beresnya tempurung kepala lelaki itu ditambah ketidakberimanan yang berpangkat tiga.

Pikirannya jelas-jelas tidak beres, dan aku jadi ingin lebih mengenalnya.

Dan asal kau tahu sejak dia mengirim pranala yang terhubung ke jurnal pribadimu, aku tertarik menghabiskannya dan ingin segera menulis balasan ini. Tapi kau pasti paham negara tidak memberi kita ruang untuk sedikit saja bergerak, dan sama seperti dia, aku juga jengkel dengan keadaan tidak berdaya seperti ini.

Terus terang, aku tidak kenal Pat dan siapa pun nama yang berada di belakang huruf P itu, aku juga tidak mengenalmu dan tidak tertarik untuk membicarakan identitas seperti apa yang ditulis P dan dicela olehmu, tapi kegiatan kalian yang saling balas tulisan yang lebih banyak cela-mencela dan saling mengatai dan pamer bacaan daripada memikirkan isi tulisan, sedikit membuatku tertarik.

Biar terkesan lebih akrab, aku akan mengenalkan diri ntukmu. Kau belum pernah bertemu denganku dan barangkali tidak ingin bertemu saat kau rampung membaca tulisan ini. Untuk awalan kau bisa membayangkan bibir Priyanka Chopra terpasang di bawah hidungku yang tidak terlalu runcing namun masih berbentuk, di dekat dahi lebar yang lebih sering teman-temanku cela sebagai sarana lepas landas pesawat terbang terdapat sepasang mata yang bisa membuatmu jatuh cinta hanya dengan sekali tatap, aku tidak membenci alisku seperti kebanyakan perempuan yang memiliki alis jarang-jarang -kecantikan tidak bergantung pada satu hal bukan- sehingga tanganku yang mungil tidak mau kugunakan mengerjakan hal sia-sia macam menggosok dan melukisnya lagi, sementara untuk polesan di atas kepalaku kau bebas saja memilih mau meletakan apapun sesuai seleramu.

Setelah melihat perkelahian kalian, kau tahu, aku sering berpikir betapa orang dewasa seperti kita selalu menyedihkan, setiap kali kita kembali mengingat kesepian dan ingin bermain, kita membunuh satu anak kecil dalam diri masing-masing. Seolah bermain dan tidak melakukan apapun adalah sebuah dosa, seolah kita menolak kenangan dan segala hal tentang masa kecil. Atau barangkali kita membenci diri kita karena hari-hari indah saat kecil adalah sesuatu yang tak terkembalikan.

Setelah pertanyaan pertama yang dikirimnya itu, obrolan kami berlanjut memperbincangkan segala hal. Semua elemen yang bahkan tidak sengaja diletakan dalam semesta ini seolah-olah dibuat dari muntahan Tuhan tidak luput kita permasalahkan. Tapi, berbeda dengan karya-karya yang rampung ia baca dan sukai, kau mesti tahu kalau si Billie itu memiliki selera musik yang buruk. Bayangkan saja orang gila mana yang menggabungkan Elvis dan Arctic Monkey dalam satu playlist, dan yang lebih parah daftar putar yang paling sering ia dengar adalah genre indie yang didominasi Hindia dan Fiersa Besari. Kau boleh berkawan denganku, tapi terus terang saja aku tidak bisa berkompromi dengan harmonisasi suara yang selalu membangkitkan rasa ingin muntah. Lain kali kau mesti mengajaknya pergi ke sebuah konser atau andai kau baik hadiahkanlah dia sebuah album musik, dan perkataanku ini serius dengan nada mengancam.

Oiya, untuk urusan negara yang disebutkan P di tulisan sebelumnya, terus terang aku juga tidak mengerti. Barangkali itu cuma alasan mereka yang mengada-ada. Padahal kau harus tahu, si Billie itu tidak memiliki pekerjaan apapun lagi sekarang, setelah dia memberi tahuku bahwa dosen-dosen yang tidak jelas di kampusnya itu mulai berhenti membuatnya harus membaca karya-karya yang buruk karena semester ganjil telah berakhir. Terakhir ia mengeluh tentang bagaimana dosen yang sering ia bilang lebih cocok jadi tukang sedot wc itu membanggakan hasil didikannya yang karyanya dimuat di sebuah koran lokal. Dosen yang ingin ia kawinkan dengan kadal itu bukan hanya menyuruh ia membaca karya anak didiknya yang lebih buruk dari tulisan dua orang pengagum Tere Liye dan Ika jika digabung, tapi dengan tampang tanpa dosa, menyuruh menganalisisnya. Bayangkan muka si Billie yang kemerahan dan penyebutan nama-nama binatang secara berkala dari mulutnya.

Mungkin perbincangan kita cukup sampai di sini, ya. Oiya, seperti di aplikasi kencan yang barangkali membuat Billie menyukaiku, aku hanya akan memberimu identitas singkat bahwa aku Is dan diriku bukan teroris.

Wednesday, November 27, 2019

Sindikat Pemburu Koran Minggu

Sindikat Pemburu Koran Minggu

Baca cerita sebelumnya di sini


Jatinangor hari ini gerah dan akan terus gerah seandainya kincir angin raksasa tidak segera dibuat untuk menyejukkan suhu udara di sini atau yang lebih masuk akal membuat matahari menjauh dua kilometer saja.  Tanpa mengenakan sehelai baju dan hanya menyisakan sebuah kolor untuk menutupi sesuatu yang keseringan malu dengan tidak sengaja, tokoh P sedang mengisi TTS di koran, maka selagi ia kebingungan menemukan jawaban, baiknya kita kembali ke masa beberapa bulan silam.

Barangkali begini awalnya. P yang melarat ingin membeli sebuah barang. Tetapi, seperti kaum melarat di kota-kota orang, ia selalu tidak belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Dalam prosesnya untuk membeli barang dibutuhkan uang guna melakukan pertukaran, hal yang disebut alat tukar paling mutakhir yang diyakini oleh orang-orang termasuk P sendiri selalu lenyap dari dompetnya, dan kesalahan yang berulang dilakukan oleh P adalah selalu tidak memilikinya, tepatnya tidak punya banyak uang atau tidak cukup banyak uang untuk dibuang sembarangan atau lebih santai, tidak memiliki uang untuk dibakar lalu melupakannya.

Dalam tempo dua kali delapan jam, P menginisiasi praktik untuk melipatgandakan uang, sebuah cara yang ia temukan sebenarnya amat sederhana dan hanya bertumpu pada untung-untungan; mengisi TTS di koran. Untuk meyakinkan beberapa orang yang kelak bergabung dalam grup kecil-kecilan di wa nantinya, P ingin membuat mereka percaya lebih dulu dengan mengirim jawaban ke salah satu koran nasional yang kemudian dalam beberapa minggu ke depan namanya dimuat sebagai pemenang.

Kurang dari tiga bulan, terbentuklah suatu grup yang terdiri dari hampir dua puluhan orang. Sudah barang tentu mereka yang bergabung adalah umat-umat yang dilupakan juru selamat dari keinginan yang berlimpah dan daya beli yang patgulipat susahnya. Setiap akhir pekan mereka mendatangi penjual koran yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, begitu yang dilakukan semua orang yang tergabung dalam grup termasuk P yang paling rajin dan melakukannya lagi pagi tadi

Kata-kata memang memiliki dimensi mistisnya masing-masing, kata-kata membuat kita iba lewat surat yang dibuat Sukab untuk Alina, bait-bait Chairil secara gamblang menularkan vitalitas atau larik-larik sajak Widji yang mencari celah dan membuat telinga kita pengang hingga kini. Maka jangan dilupakan kata-kata yang harus diisi P dalam TTSnya yang merupakan sumber rejekinya hingga kini.

P harus terlebih dahulu menyelesaikannya lalu membagikan jawaban tersebut di grup whatsapp. Biasanya orang-orang di grup akan membalas dengan menanyakan jawaban dengan mengacak nomor, seolah-seolah mereka berharap P akan percaya bahwa mereka juga serius mengerjakannya. Padahal jelas P tahu jika selain keempat temannya yang menjadi personil gelombang pertama sisanya hanyalah orang-orang yang tidak tahu malu karena hanya ingin uang, sementara porsi yang lebih kecil lagi diisi orang-orang narsistik yang berharap memiliki suatu kebanggaan dengan memenangkan sebuah hadiah.

Ia merangkul semuanya karena dari sana juga koin-koinya berjatuhan, P mengambil persenan dari hadiah tiap orang. Sebenarnya ia bisa saja mengisi sendiri dan mengirimnya sendiri terus-menerus setiap minggu, namun aturan sederhana yang membuat setiap pemenang tidak akan menang lagi dalam periode singkat membuat ia harus mencari identitas-identitas lain untuk memenangkan hadiah itu.

Beberapa temannya pernah bersedia memberinya identitas mereka tanpa diikuti syarat apapun, namun tidak sedikit yang ketakutan menyerahkan identitasnya sendiri. Mereka resah sebab banyak orang sering memiliki niat buruk terhadap identitas di samping mereka yang ingin bersembunyi di balik identitas yang bukan dirinya. Karena keterbatasan itu ia akhirnya bersedia memberi dirinya persenan yang lebih sedikit lalu terbentuklah grup yang demikian.

"Huruf ke-9 abjad Yunani."

P menulis I dan T secara vertikal setelah sebelumnya huruf O dari kata MONUMENTAL yang ditulisnya sebelum ini mengisi kotak kedua dari atas, ini membuatnya yakin untuk mengisi IOTA untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Mengisi teka-teki silang semacam ini membuatnya teringat seseorang yang menulis fiksi balasan untuk tulisan si Kupat beberapa hari lalu. Seorang tokoh bernama Apes -yang entah tragedi nahas macam apa yang telah dialaminya hingga kawan-kawannya rela menyumpahi nama dia seperti itu- dalam sebuah dialognya menyebut 'Ja untuk seseorang yang menjadi dalang di balik tulisan tempo hari. Dalam kotak-kotak kosong TTS, Ja ia tebak sebagai dua kotak terakhir, menelisik pada terbatasnya klu yang diberikan maka tentu akan sangat sulit menebak nama yang menjadi jawaban atas pertanyaannya ditambah tidak jelasnya jumlah kotak yang harus ia isi. Tapi bagaimanapun keadaannya P akan tetap mengisinya.

Dengan beberapa pertimbangan, P memperkirakan namamu adalah Buja, akronim dari bujangan jadah atau Soja kependekan dari so jadah, atau barangkali Meja sebab alasan yang sederhana sekali; karena ibumu seorang pengagum Shakespeare.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan P untuk namamu padahal tidak patut untuk dipertimbangkan tersebut berikut. Pertama, misalnya jika pun kamu memang sudah lebih dari seribu kali melewati jalanan yang disebut dari buah-buahan itu, kamu tentu tidak akan menyamakannya dengan rak Borma karena ia tidak memiliki kerumitan seperti jalanan yang kamu lalui kecuali kamu memang seorang penggemar Richard Dawkins yang sering mengada-ngada. Kedua, dengan ketertarikan atas dasar frasa yang termuat dalam bukunya dan bukan dari nama penulisnya, yakni Etgar Keret, P mengasumsikan jika kamu bukan penggemar Dea Anugrah atau Sabda Armandio atau barangkali kebalikannya. Dari dua pertimbangan di atas P berkesimpulan jika kamu adalah orang yang kolot, menyebalkan dan sering mengada-ngada, maka P memilih bahwa namamu adalah JA atau lengkapnya Denny JA.

Seandainya pun tebakan P benar demikian, semua argumennya tentu akan patah dengan kegiatanmu yang membawa bungkus rokok setengah isi, korek, dan tas selempang. Tindakanmu yang lebih memilih berteman dengan Apes dan ingin meminjam bukunya lebih menekankan bahwa dirimu tidak memiliki kemampuan membuat kontroversi dengan uang sebagaimana orang yang ditengarai P tadi adalah dirimu. Jadi keputusan P adalah tetap mengisi TTS dan tidak memikirkanmu.

Menurut P, terkadang tidak semua hal harus dijabarkan, bukan begitu. Yang kita lakukan hanyalah mengira-ngira, persis seperti mengisi kotak-kotak kosong TTS dan menulis balasan ini untukmu, Ja, kita hanya bisa bertaruh untuk ketidakpastian. Jika yang pasti adalah mati, maka kita sebenarnya hanya bertaruh untuk membuat genangan-genangan kecil sebelum sebuah ban yang berputar melaju dengan kecepatan seratus lima puluh kilometer per jam menindas lalu memuncratkannya.

Dengan begini jelaslah kenapa P susah kamu hubungi dan lama sekali menyahut soal tulisan kawanmu yang ingin merayakan ulang tahun itu tempo hari.

Begitulah kiranya kegiatan yang kami lakukan akhir-akhir ini, jadi aku sebagaimana kawan-kawanku yang lain meminta maaf atas terlambatnya menulis balasan untukmu dan juga sekalian mengabarkan bahwa Kupat dan Billie tidak bisa menghadiri undangan kalian. Jika keadaan negara tetap seperti ini dan masih belum punya niatan baik untuk bertobat maka selama itulah pertemuan kalian tidak akan terlaksana.

Tuesday, November 5, 2019

Kesepian adalah Kata Pertama yang Akan Kita Ingat Andai Dunia Lebih Memilih Menjadi Kue Apem

Kesepian adalah Kata Pertama yang Akan Kita Ingat Andai Dunia Lebih Memilih Menjadi Kue Apem


Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.

Mari kita kembali ke wa terakhirmu sebelum aku menulis cerita ini.

Kau mengirimiku sebuah hasil tangkapan layar yang belum kuunduh sebab ini pertama kalinya sebuah gambar dikirim atas nama kontakmu. Memang tidak mudah menebak kebiasaanmu. Kau tidak pernah memiliki keinginan dan tidak menuntut apapun pada dunia ini selain seperti yang pernah kau katakan dengan nada bicara yang tak mengabarkan emosi jenis apapun -bahwa kau hanya ingin menonton bioskop dengan ibumu. 

Beberapa hari yang lalu, kau membagikan pesan berisi pranala yang tertaut ke sebuah situs pribadi milik seorang senior di kampusmu yang juga merangkap menjadi kawanmu. Dari puluhan daftar kontak yang dipilih acak olehmu, aku termasuk ke dalam penerima yang langsung membukanya. Aku membaca habis isi cerpen yang mirip anti-cerpen atau sebaliknya itu kurang dari lima belas menit. Waktu aku mulai membacanya aku miskin, dan setelah selesai membacanya aku tetap miskin. Ternyata cerita jenis apapun tidak membuat kita menjadi borju dalam sekejap.

Mungkin tulisanku selanjutnya ini akan terdengar sentimentil dan terasa sangat emosional bagimu, karena bagaimanapun kau tahu kejadian yang menimpaku tidak lama sebelum ini. Seorang pecundang, seberkilau apapun kalimat yang keluar dari mulutnya akan terdengar seperti kentut, begitu katamu ketika hubunganmu baru saja kandas dan aku meminta nasihat soal cinta kepadamu. 

Persis seperti anti-cerpen yang cerpen itu, semesta yang kita diami adalah dunia yang seolah-olah. Ia seakan memberimu beberapa pilihan untuk menjalani kehidupan ini padahal jalan ceritanya jelas dijejalkan ke depan mukamu dari awal. Ia mengencingimu namun kau terlambat menyadarinya. Cerita itu jelas bukan milik tokoh-tokoh Ika Natassa, cerita-cerita menjengkelkan itu untuk kita. Untuk kau, untukku, dan untuk kita semua para fakir dalam segala urusan di dunia ini yang tidak pernah gawat dan penting.

Kita berada di antara dunia yang seolah-olah memberikan kita pilihan dalam segala urusan. Tapi yang terjadi adalah aku ditolak perempuan berkali-kali dengan alasan muka yang kurang manusiawi. Ibu kost datang menggedor pintu kamarku seperti banteng kesurupan hanya karena tunggakanku lima bulan sebelumnya belum dibayar, ditambah setahun lagi. Dan, kebahagiaan tidak kunjung bertamu ke kamar kostku, entah karena dia takut disangka sebagai orang yang bertanggung jawab atas tunggakanku atau memang malas saja menemui orang yang masa depannya lebih buram dan berdebu dibanding pojokan rak buku perpus sekolah.

Jadi aku membalas wa-mu dengan beberapa kata pendek seperti “Itu siapa?”, “Apa urusan seorang laki-laki yang sedang duduk bersama perempuan berkacamata bulat yang tersenyum itu denganku?”, dan yang terpenting “Mengapa kau mengirimiku gambar itu?”.

Kau hanya membalas pesanku dengan singkat, “Itu dia,” dan sebuah emotikon yang barangkali digunakan oleh kaum pemuja Didi Kempot sedunia –gambar hati yang retak dan sebuah muka tanpa hidung yang tak jelas jenis kelaminnya sedang tersenyum. Maka langsung kubalas lagi pesanmu dengan beberapa kalimat panjang, kira-kira seperti inilah isi pesannya;

Pada suatu hari ulang tahunmu yang berbarengan dengan acara sekolah yang membuat guru tidak masuk kelas, kau berangkat dengan santai lebih lama daripada kebiasaanmu pergi sekolah. Kau adalah seseorang yang sudah tiga tahun belajar di sekolah itu, tapi itu adalah pertama kali langkahmu memasuki kelas disambut orang-orang di sana. Bahkan perempuan yang duduk di bangku depan yang selalu tremor ketika kauajak bicara, histeris. Okelah, ia memang selalu histeris, tapi ini jelas berbeda. Lebih melengking dari histeris. Semua orang bangkit dari duduknya dan menghampirimu, menyambutmu seakan kau salah seorang pemain bola asal daerah yang baru saja membawa negaranya juara dunia. "Halo, selamat pagi!" Kau mendengar seorang lelaki kurus berjaket kw dengan rambut bergaya emo berseru padamu dari jarak dekat. Kau sadar kau terlambat satu jam, tapi tentu ada cara menegur yang lebih manusiawi. Kuping kananmu pengang, pipimu basah terciprat ludahnya. Kau belum sempat melakukan pertolongan pertama pada keduanya karena kuplukmu telanjur ia tarik dan kau dipaksa duduk di bangku paling depan. Aroma kue menguar dan lilin dinyalakan lalu kau meniupnya sebelum beberapa menit selanjutnya kau akan saling pukul dan mematahkan hidung teman yang pertama mendaratkan kue penuh krim di mukamu. Kau dibawa ke ruang BK dan di sana mereka menceramahimu seperti keledai yang hilang akal.

Kau masih mengingat percakapan dengan ibumu pagi tadi. Ia bercerita tentang dagangannya yang ditinggalkan dan tak bisa menjaga dirinya sendiri. Malam sebelumnya ia dibobol oleh seseorang yang kedapatan di kamera cctv menggunakan tang untuk melepas gembok yang dipasang ibumu. Seseorang itu adalah pelanggan yang sering belanja di sebelah toko tempat ibumu berjualan. Namun, pemilik toko yang sudah menganggap pelaku dalam cctv itu langganan, merasa pelanggannya tidak mungkin melakukan hal tercela seperti demikian dan memilih mengelak dan membela dan memaksa ibumu diam andai dia masih ingin tenang berjualan di tempatnya kini, di depan toko mas yang sudah pasti bukan milik orang sini. Dalam beberapa jam ke depan kau mulai membenci orang-orang di sekitarmu dan lebih memilih mencintai orang asing yang mengasihi keluargamu.


Dari caramu bercerita waktu itu dan tatapanmu yang mirip seperti bekantan yang putus asa terhadap keserakahan manusia seharusnya aku mengerti bahwa dunia yang kita diami bukanlah dunia yang semestinya. Tapi dengan alasan apapun kita harus menyiasatinya. Luka perang yang menyebabkan Jake Barnes impoten tidak menghalangi cintanya terhadap Ashley, dan Cohn yang menyembunyikan rasa rendah dirinya dengan terus-menerus bertinju. Kau pun mesti punya alasan sendiri untuk terus melanjutkan hidup.

Aku menuliskan kalimat balasan selanjutnya kepadamu jika kau merasakan kesepian, sepertiku. Andai dunia memang diciptakan supaya kita mengerti bahwa ada hal-hal yang tidak akan terdefinisikan kau boleh lanjut membacanya. Namun, kalau memang kau tidak berkenan mengakuinya dan lebih memilih berganti ke aplikasi pamer foto dan video paling toxic, kau tetap akan membacanya sebab aku tetap harus menyelesaikan kalimat ini.

Seolah-olah kita memiliki sebuah pilihan. Maut, cinta, dan kesepian adalah hal-hal abstrak yang berada di luar jangkauan hitungmu, mereka bisa tiba-tiba datang dan mengacaukan segala hal yang kau susun rapi dan terstruktur jauh-jauh hari. Tapi kau jelas tahu dan sering mengakalinya dengan berpikir bahwa kau masih akan menghela napas dan memandang langit yang sepia seperti pandangan ibumu, dua jam ke depan. Kau memandang jauh ke seberang jalan dan berharap hujan akan membawakanmu payung lewat seorang perempuan. Seolah-olah kau bisa membeli kebahagiaan dengan menghabiskan seluruh isi dompet dan membikin rumah penuh sesak dan menyalakan suara-suara paling kencang yang akan membuat telinga pengang. Seolah-olah kau tidak sendirian dan akan terus seperti itu.

Kau lupa dan selalu melupakan bahwa kesepian adalah kata kerja, dan kata kerja akan tetap bekerja meski kau sibuk mengurusi dan mengerjakan hal sia-sia.

Thursday, October 3, 2019

Membaca Kefanaan dan Puisi-puisi Lainnya: Rudiyana Sapta Prayoga

Membaca Kefanaan dan Puisi-puisi Lainnya: Rudiyana Sapta Prayoga


2.14

Bulan sungguh angkuh malam ini
Seakan ia merasa menyinari seluruh langit
Pun awan adalah segumpal objek putih
Merasa dibayang-bayangi
Karena tak bisa sembunyi
Layaknya hari yang lampau
Beda dengan bintang
Kali ini ia malu, sembunyi, lagi.

Pada sepertiga malam
Angin membelai mesra pipiku,
mungkin juga pipimu.



Sajak Tuhan

Endapkan aku pada langit-langit kamarmu
Agar bisa kau lihat setiap kali akan tidur
Tempelkan aku pada semua bukumu
Pada setiap kata dan kalimat
Selalu, setiap saat

Leburkan aku pada kasur empukmu
Setidaknya, agar membuatmu hangat
Dan ketika kau terjaga,
Pejamkanlah lekas, jangan khawatir
Aku bisa menjagamu,
karena aku adalah hela napas yang kau hirup



Dansa di atas pedang

Kita berdansa di atas pedang
Menahan luka menancap kaki
Tanganmu memelukku
Matamu menahan pedih

Aku mencumbumu
Kau peluk leherku

Kita adalah lantunan melodi kesakitan
Dihiasi lilin-lilin redup
Hingga sampai saat kau tak kuasa lagi
Menyiksa diri dalam dansa kita

Aku masih berdansa di atas pedang
Bersama angan dan mimpi yang kau buang



Sinta, Titisan Laksmi yang Tersaruk-saruk

Sinta menanggung siksa
la tersaruk-saruk di rimba Dandaka
Setelah rakyat Ayodya mengusirnya
Dan Rama masih ragu padanya

Juga ritual api yang Sinta lewati
Tak cukup bagi Rama kiranya
Bahwa Sinta telah disentuh Rahwana
Di Alengka dalam kurungan di Taman Argasoka

Kadang Sinta bertanya-tanya
"Apakah cinta bagi Rama memerlukan syarat?"
Kini ia tak mau tahu
Sinta hanya mau anak dalam rahimnya hidup

Sinta masih merangkak menyusur rimba
Hingga kemudian,
Siluman - siluman pun beriba pada Sinta
Tak kuat mereka melihat Sinta

Mereka kasih tolong itu Sinta
Dibawanya Sinta ke luar rimba
Hingga dipertemukanlah Sinta dengan Walmiki
Seorang tua bijak nan piawai menulis

Tak lama jua bahagia kembali datang
Lawa dan Kusa, buah kandung dari Sinta
Kini sedang lincahnya berburu
Harapan bagi Sinta

*)disadur dari "Kitab Omong Kosong" milik SGA


Membaca Kefanaan

Aku membaca hujan,
Tak lama hujan reda
Aku membaca matahari,
Tak lama malam datang

Aku membaca bulan,
Tak lama fajar menjelang
Aku membaca dinginnya fajar,
Tak lama hangatnya mentari mengelus tubuhku

Aku membaca hangatnya mentari,
Tak lama awan menutupi
Aku membaca awan,
Tak lama langit biru meluas

Aku membaca langit,
Tak lama bangunan menghalangi
Aku membaca bangunan,
Tak lama dinding membatasi

Aku membaca dinding
Tak sengaja muncul potret wajahmu
Aku membaca wajahmu,
Tak lama senyummu memancar

Aku membaca senyummu,
Tak lama matamu berbinar binar
Aku membaca matamu,
Tak lama bentangan cakrawala indah membuai mataku, juga

ketaksempurnaanku nampak pada bola matamu.



Kurban Sakit Hati

Berguncang iman Sutan Alam Shah saat wajah perempuan
malang membayang
Gelisah risau, iba hati mengenang nasib Dik cantik itu
Ingin hati berbuat lebih, namun mulut berucap sedih
Sampai si Buyung lupa akan ikhwal rumah tangga nya sendiri

Tentu hati Limau Manis tak senang melihat perubahan lakinya
Cemburunya pun bertambah besar,
"Tak terderitakan lagi oleh hamba laku perangai Tuan! sejak
Tuan gila bayang bayang... tuntut Manis
"Manis! Ingat tertib sopan! Jangan diperurutkan cemburuan!
sahut Sutan dengan belalak mata

Panas hati mengiring Sutan pergi
Cemburu hati Manis berbuah jadi dendam
la tak takut pada lakinya ini, bahkan ia bersumpah kan
menuntaskan dendam pada lakinya

Sampai ketika Sutan tengah berbaring lemas tak berdaya,
"Sampai sudah niat... si Manis..." putus putus suaranya
Sebab nyawa Sutan Alam Syah tlah menghindar dari raganya

*)digubah dari "Hulubalang Raja BAB XIV" N. St. Iskandar


Kau Adalah Keragu-raguan yang Membisu

Hai, Na!
Lepaskan ragumu

Pada teka-teki seekor burung dalam
sangkar
Inginnya ia terbang menelusur awan
Namun apa daya,
la masih dalam sangkar
Bisakah ia bertemu dengan tangannya?
Membelaikan sayap pada terpaan angin
Tidur bersama bintang-bintang
Sampai lelapnya tak lagi ragu

Hai, Na!
Jangan lagi ragu, hempaskanlah
Kan ku bawa kau melayang, menertawakan

ragumu

Sunday, September 15, 2019

Ceu Kokom, Kopi Priangan, dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai

Ceu Kokom, Kopi Priangan, dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai



Sesekali minumlah kopi, agar kau tau menunggu tak selalu manis”.

Bandung malam hari adalah sebuah puisi, saya tidak bisa mendeskripsikannya secara rinci namun kenyamanannya terasa sekali. Sepanjang jalan menyusuri kota Bandung saya ditemani oleh kelengangan dan agak sedikit dingin. Lampu-lampu kota menyala dan memberikan jalan untuk berburu kopi Priangan.
Kopi Priangan sendiri adalah kopi yang berasal dari pegunungan-pegunungan di dataran Jawa Barat. Kopi ini dihasilkan oleh para petani kopi Jawa Barat dan kini sedang menjadi primadona dan digunjingkan di mana-mana.
Secara serentak dalam beberapa tahun terakhir, telah menjamur kedai-kedai kopi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Bandung. Kondisi tersebut terjadi akibat kecendrungan masyarakat yang tiba-tiba saja menyukai kopi setelah tayangnya film “Filosofi Kopi”. Budaya ngopi juga sampai kepada remaja-remaja Bandung, kota yang menjadi jantungnya Jawa Barat, tempat Kopi Priangan itu lahir.
Saya sedang mengunjungi satu per satu kafe di Bandung yang saya pikir menyediakan kopi Priangan, sebab saya penasaran dengan rasanya setelah mendengar kabar bahwa kopi Priangan kembali berjaya dalam khazanah perkopian dunia. Saya menemukan sebuah kafe yang menarik di sekitar jalan PH. H Mustofa nama kafenya “Kopi Truk”, jaraknya mungkin sekitar 8 km dari bandara Husein, tiga puluh menitan bila ditempuh menggunakan mobil.
Konsep kafenya cukup unik, pemiliknya memberi ornamen-ornamen truk di setiap sudut kafe, ada ban-ban besar yang dijadikan pajangan, tempat memesan yang dipasang kepala truk serta tong-tong kosong yang dijadikan meja. Namun sayang, apa yang tengah saya cari tidak tersedia di sini. Maka berangkatlah lagi saya menembus dinginnya malam kota kembang ini.
Setelah memutar roda cukup jauh dan lelah bertanya kepada manusia sebab tak ada jawabnya, akhirnya saya memutuskan untuk gugling sebagai tanda keputusasaan. Tersebutlah dalam daftar “Warung kopi – WKCK”, WKCK sendiri merupakan kepanjangan dari “Warung Kopi Ceu Kokom”, tempatnya berada di kawasan villa Bandung Indah Cileunyi, hanya satu kilometer dari gerbang tol Cileunyi.
Menurut kabar yang diedarkan di gugel, hampir 80% menu kopi yang tersedia di sini adalah kopi yang berasal dari Jawa Barat, yang berarti hampir semua kopi di sini adalah kopi Priangan. Maka tanpa pikir panjang saya langsung meluncur ke sana.
Tempatnya sejuk, sangat enak dipakai ngopi karena berada sedikit lebih tinggi, dekat ke kaki gunung. Fasilitas dan tempat yang disediakan juga cukup instagramable bagi mereka yang ingin sekadar unggah mengunggah. Suasana yang terasa di sini tenang, damai, sebab jauh dari jalanan yang sibuk. Kafe ini lengkap menyediakan beragam masakan serta variasi minuman yang lain apabila kalian lapar dan tidak menyukai kopi murni.
“Jadi Warung Kopi Ceu Kokom ini lahir dari kebiasaan bapak-bapak di sini yang sering ngumpul-ngumpul lalu ngopi sehabis salat atau istilahnya ‘kopi morning’, ‘Kokom’ di sini artinya komunitas kopi morning. Ditambah eceu-ecuean supaya gampang diingat dan menarik perhatian”. Kata Yoga (25 tahun), seorang headbar di kafe ini.
WKCK buka dari Senin-Kamis pukul 15.00-23.00, sedangkan pada hari Jumat-Minggu buka lebih awal yaitu pukul 10.30. Sayangnya saya mesti kembali kehabisan menu yang diinginkan, memang kesalahan saya sendiri sebab terlalu malam sampai di sini dan kebetulan pula stok kopi Priangannya sedang kosong, jadilah saya tidak bisa mencicipinya dan akhirnya Yoga bersedia menemani berbincang untuk mengusir rasa kecewa saya. Dia terlebih dahulu menawarkan menu yang dirasanya cocok untuk pemula seperti saya, tentunya setelah saya juga menjelaskan pengalaman ngopi saya yang nol besar itu.
Kata Yoga ini kopi Gayo yang diracik dengan metode ‘V60’. Bagi yang bukan penikmat kopi seperti saya, mencicipi rasa kopi yang asam seperti ini agak sedikit menyiksa lidah, andai tidak penasaran barangkali saya tidak akan mencicipinya sampai sekarang, karena lidah saya sudah terlanjur sering mengecap yang manis.
“Kopi Priangan sekarang sedang naik kelas,” Kata Yoga, entah kenapa ia memilih kata naik kelas “Semenjak tahun 2016 para petani kopi Priangan telah diberi wawasan oleh pemerintah daerah agar memetik buah yang sudah berwarna merah, karena itulah buah yang terbaik untuk dipanen”.
Jadi seperti apa sebenarnya rasa kopi priangan sesungguhnya? Maka beginilah penjelasan Yoga, “Kopi Priangan mempunyai aroma yang lumayan kuat namun terkstur kopinya tidak sekuat kopi-kopi Sumatra. Kopi Sumatra cenderung lebih strong rasanya, sementara kopi Priangan tidak terlalu, dan barangkali itulah yang menyebabkan kopi Priangan naik kelas saat ini”.
Dari kebanyakan masyarakat Bandung yang saya temui, kebanyakan dari mereka belum mengetahui mengenai kopi Priangan ini. Padahal konon ekspor kopi pertama Indonesia yang menghidupi Belanda hampir 75% pada masa itu adalah kopi Priangan.
Lantas alasan apa yang membuat kopi Priangan itu kurang popuer dibandingkan kopi-kopi lain di Indonesia? Usut punya usut ternyata memang budaya ngopi di tanah sunda tidak sekuat masyarakat Sumatra. Di samping itu harga kopi Priangan yang lebih mahal jika dibandingkan kopi-kopi lain juga bisa menjadi pertimbangan. Dua hal itulah yang menjadi penyebab utama mengapa Kopi Priangan tidak populer di kampung halamannya sendiri.
Barangkali saya belum bisa merasakan nikmatnya kopi Priangan, namun dari deskripsi orang-orang kiranya tergambarlah bagaimana rasa kopi yang kini citranya tengah naik dan menjadi primadona dalam khazanah perkopian Indonesia bahkan dunia ini. Karena di awal saya mengutip dialog dari film Filosofi Kopi, kiranya lebih afdal apabila tulisan ini diakhiri oleh kutipan juga dari salah satu tokoh penyuka kopi.
Hahaha, kurangin tidur, banyakin ngopi”.

Thursday, September 12, 2019

Cita-citaku

Cita-citaku


Sebelum tumbuh dan sadar bahwa saya adalah salah seorang manusia yang dikutuk menjadi bagian dari orang-orang yang tidak memiliki ketahanan dan kekuatan fisik yang mumpuni, saya langsung mengganti harapan idealis dari ingin menjadi seorang atlet menjadi seorang yang biasa-biasa saja. Hidup begitu santai, dan hanya itu yang saya pikir.
            Selepas hidup dalam bayang-bayang menjadi seorang manusia yang biasa saja, beberapa tahun sebelum saya memutuskan ingin menjadi seorang atlet, saya pernah berkeinginan menjadi seorang guru yang jahat. Hal yang saya pikir kala itu dan akan saya realisasikan pertama ketika sah menjadi guru adalah menghukum atau lebih tepatnya iseng terhadap seorang murid yang kelak saya ketahui bahwa hal semacam itu adalah tidak baik, sangat tidak baik. Begini.
            Saya akan memarahi dan mengeluarkan maki-makian yang tak akan tanggung seandainya banyak murid yang tololnya kebangetan, barangkali ini juga dilatarbelakangi oleh sikap gemas saya terhadap segala kelakuan bodoh manusia yang sebenarnya bisa tidak ia lakukan sebagai seorang manusia. Setelah puas memarahi murid-murid bodoh tadi, hal selanjutnya yang akan saya lakukan adalah memeriksa tugas mereka. Dan andai ada seorang murid yang benar-benar bodoh lagi dalam melaksanakan tugas untuk anak seusianya, saya akan suruh dia ke depan untuk mengambil buku tugasnya. Ketika dia tiba tepat di depan dan sejengkal lagi tangannya akan mendapatkan buku miliknya itu, saya akan melemparnya ke belakang, jauh ke belakang sambil membayangkan sebuah adegan slow motion buku tersebut lewat di hadapan muka si murid dan ia hanya melongo menampakkan wajah tololnya sambil melihat buku itu melewatinya.
            Beberapa bulan sebelum saya bercita-cita menjadi seorang guru berwatak antagonis dan lebih condong sebagai seseorang yang akan menjadi musuh setiap murid, saya pernah memiliki harapan pada Tuhan untuk menjadikan saya seorang pemain sepak bola. Keinginan ini tentu tidak terlepas dari hobi yang hampir saya lakukan setiap sore bersama kawan-kawan kecil saya, namun ada faktor lain yang lebih krusial, bahwa negeri ini butuh seorang jenius dalam dunia sepak bola dan sayalah orangnya. Negara miskin yang gemar berkelahi ini butuh harapan, dan sayalah orangnya. Pendeknya Negara ini butuh saya dan saya sangat dibutuhkan oleh negara ini.
            Hidup terus berjalan hingga tibalah hari ini, beberapa detik sebelum saya menuliskan cerita pendek ini, ada satu hal yang ingin saya lakukan. Sesuatu yang memiliki efek kejut sekaligus memberikan kesenangan seperti mencuri buah mangga milik tetangga, maka terbersitlah sebuah pikiran bahwa sepertinya berbohong enak juga. Maka dimulailah sebuah cerita bohong saya mengenai cita-cita yang agaknya tidak bagus dan kurang menarik untuk dibaca, kalimat pembukanya saja ditulis seperti ini “Sebelum tumbuh dan sadar bahwa saya adalah salah seorang manusia yang dikutuk menjadi bagian dari orang-orang yang tidak memiliki ketahanan dan kekuatan fisik yang mumpuni, saya langsung mengganti harapan idealis dari ingin menjadi seorang atlet menjadi seorang yang biasa-biasa saja.”

Tuesday, September 10, 2019

Hari Paling Menjengkelkan Bagi Supporter Garis Lucu Se-Indonesia

Hari Paling Menjengkelkan Bagi Supporter Garis Lucu Se-Indonesia

Saya adalah satu di antara jutaan penonton Timnas Indonesia yang kecewa atas permainan tim secara keseluruhan juga hasil akhir yang bukan hanya membuat frustrasi dan ingin segera pergi menjauh dari layar televisi, tapi juga membuat kita semua lagi-lagi harus menghadapi hujatan-hujatan dan hinaan-hinaan yang sudah mafhum kita temui setiap kali 'kekalahan' menjadi hasil akhir dari sebuah pertandingan.

Indonesia kalah nol tiga, kalah telak oleh Timnas Thailand dalam kualifikasi Piala Dunia 2022. Gawang Andritany dibobol tiga kali dan kesebelasan kita tidak berhasil membalas satu pun gol itu, tidak satu pun. Padahal sebagai tuan rumah, Timnas kita memiliki banyak keuntungan dibanding Thailand yang notabene adalah tim tamu dan tentunya mendapat lebih sedikit dukungan, lebih tertekan juga -sebab beberapa hari sebelumnya ada oknum pendukung Timnas kita yang membuat tidak nyaman tim tamu yang bertandang.

Tapi begitulah, kalah tak dapat ditolak, menang tak dapat diraih. Apa yang akan terjadi setelah ini adalah sesuatu yang sudah bisa dan biasa kita tebak, sebab kejadian seperti ini selalu memiliki alur yang sama, persis, dan konsisten dilakukan oleh para pendukung fanatik "yang peduli" pada kesebelasan garuda di dada.

Barangkali untuk lebih memperlihatkan bagaimana dan sejauh apa rasa jengkel yang akan kami alami sekira 24 jam ke depan akan saya jabarkan sedikit. Pertama, tulisan-tulisan satir dan sarkazem sudah pasti muncul di beberapa akun basis pendukung yang agak kalem tapi ingin ikut menghujat. Akun lain memasang foto pelatih dengan caption 'DOUBLE KILL BOSS!!!". Puluhan akun membagikan video gol-gol Thailand dengan sedikit bumbu-bumbu penyedap bangsat. Yang lainnya akan mengatakan ganti pemain ini, si itu cacad maennya, dan seterusnya. Pokoknya linimasa media sosial kami akan dipenuhi hujatan serta maki-makian yang tak tanggung jumlahnya.

Hujatan serta makian-makian yang tak tanggung jumlahnya terus-menerus muncul di linimasa media sosial. Entah itu dalam bentuk meme, postingan yang secara gamblang menyalahkan satu-dua pemain, atau adapula yang memosting sebuah gambar yang memancing ruang diskusi penuh makian netijen penikmat bola yang budiman.

Jika itu belum terlalu membuat jengkel kalian sebagai warga negara yang tidak peduli seberapa sering timnas sepak bola kita kalah dan kalah, tunggu sampai kalian tahu apa yang akan terjadi ketika hasil akhir yang didapat adalah sebaliknya -kemenangan.

Pujian, doa-doa terbaik bagi keluarga, angin-angin surga, giveaway dibagikan dan baik yang membagikan dan mendapatkan sama-sama senang. Linimasa kami akan damai, tentram, dan biasanya hal-hal semacam blunder pemain pun akan dimaafkan andai yang didapat adalah sebuah kemenangan. Tidak ada diksi-diksi jahat, semua baik, semua baik, semua menjadi orang baik.

Kalian tahu, menjadi supporter garis lucu macam saya dan barangkali juga kawan-kawan garis lucu lain menjadi semakin sulit andai harus terus menghadapi hari-hari menjengkelkan semacam itu. Tidak cukup hanya kecewa oleh para pemain di lapangan, kita juga harus dibuat jengkel oleh kelakuan suppoerter kita di luar lapangan dengan perseteruan dan ujaran penuh kebenciannya. Kegemaran berujar dengan frontal yang dilakukan atas dasar kecintaan pun hanya akan menimbulkan keresahan-keresahan dan membuat mood para supporter buruk dengan segala macam postingan yang berisi ujaran kebencian semacam itu. Kami yang tidak pernah ikutan menghujat dan hanya turut senang tanpa melakukan apa pun ketika menang hanya bisa berharap jika pun perilaku semacam itu tidak bisa hilang, toh berkurang pun tak apalah.

Tapi seberapa pun kecewanya kami dan mereka sebagai supporter garda terdepan, berapa kali pun kalah, berapa tahun tanpa gelar pun, kami selalu kembali, mendukung, kecewa, mendukung lagi, kecewa lagi, mendukung dan mendukung lagi. Meski pada dasarnya kita bisa saja tidak peduli. Kita selalu bisa memilih, selalu bisa.