Wednesday, November 27, 2019

Sindikat Pemburu Koran Minggu

Sindikat Pemburu Koran Minggu

Baca cerita sebelumnya di sini


Jatinangor hari ini gerah dan akan terus gerah seandainya kincir angin raksasa tidak segera dibuat untuk menyejukkan suhu udara di sini atau yang lebih masuk akal membuat matahari menjauh dua kilometer saja.  Tanpa mengenakan sehelai baju dan hanya menyisakan sebuah kolor untuk menutupi sesuatu yang keseringan malu dengan tidak sengaja, tokoh P sedang mengisi TTS di koran, maka selagi ia kebingungan menemukan jawaban, baiknya kita kembali ke masa beberapa bulan silam.

Barangkali begini awalnya. P yang melarat ingin membeli sebuah barang. Tetapi, seperti kaum melarat di kota-kota orang, ia selalu tidak belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Dalam prosesnya untuk membeli barang dibutuhkan uang guna melakukan pertukaran, hal yang disebut alat tukar paling mutakhir yang diyakini oleh orang-orang termasuk P sendiri selalu lenyap dari dompetnya, dan kesalahan yang berulang dilakukan oleh P adalah selalu tidak memilikinya, tepatnya tidak punya banyak uang atau tidak cukup banyak uang untuk dibuang sembarangan atau lebih santai, tidak memiliki uang untuk dibakar lalu melupakannya.

Dalam tempo dua kali delapan jam, P menginisiasi praktik untuk melipatgandakan uang, sebuah cara yang ia temukan sebenarnya amat sederhana dan hanya bertumpu pada untung-untungan; mengisi TTS di koran. Untuk meyakinkan beberapa orang yang kelak bergabung dalam grup kecil-kecilan di wa nantinya, P ingin membuat mereka percaya lebih dulu dengan mengirim jawaban ke salah satu koran nasional yang kemudian dalam beberapa minggu ke depan namanya dimuat sebagai pemenang.

Kurang dari tiga bulan, terbentuklah suatu grup yang terdiri dari hampir dua puluhan orang. Sudah barang tentu mereka yang bergabung adalah umat-umat yang dilupakan juru selamat dari keinginan yang berlimpah dan daya beli yang patgulipat susahnya. Setiap akhir pekan mereka mendatangi penjual koran yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, begitu yang dilakukan semua orang yang tergabung dalam grup termasuk P yang paling rajin dan melakukannya lagi pagi tadi

Kata-kata memang memiliki dimensi mistisnya masing-masing, kata-kata membuat kita iba lewat surat yang dibuat Sukab untuk Alina, bait-bait Chairil secara gamblang menularkan vitalitas atau larik-larik sajak Widji yang mencari celah dan membuat telinga kita pengang hingga kini. Maka jangan dilupakan kata-kata yang harus diisi P dalam TTSnya yang merupakan sumber rejekinya hingga kini.

P harus terlebih dahulu menyelesaikannya lalu membagikan jawaban tersebut di grup whatsapp. Biasanya orang-orang di grup akan membalas dengan menanyakan jawaban dengan mengacak nomor, seolah-seolah mereka berharap P akan percaya bahwa mereka juga serius mengerjakannya. Padahal jelas P tahu jika selain keempat temannya yang menjadi personil gelombang pertama sisanya hanyalah orang-orang yang tidak tahu malu karena hanya ingin uang, sementara porsi yang lebih kecil lagi diisi orang-orang narsistik yang berharap memiliki suatu kebanggaan dengan memenangkan sebuah hadiah.

Ia merangkul semuanya karena dari sana juga koin-koinya berjatuhan, P mengambil persenan dari hadiah tiap orang. Sebenarnya ia bisa saja mengisi sendiri dan mengirimnya sendiri terus-menerus setiap minggu, namun aturan sederhana yang membuat setiap pemenang tidak akan menang lagi dalam periode singkat membuat ia harus mencari identitas-identitas lain untuk memenangkan hadiah itu.

Beberapa temannya pernah bersedia memberinya identitas mereka tanpa diikuti syarat apapun, namun tidak sedikit yang ketakutan menyerahkan identitasnya sendiri. Mereka resah sebab banyak orang sering memiliki niat buruk terhadap identitas di samping mereka yang ingin bersembunyi di balik identitas yang bukan dirinya. Karena keterbatasan itu ia akhirnya bersedia memberi dirinya persenan yang lebih sedikit lalu terbentuklah grup yang demikian.

"Huruf ke-9 abjad Yunani."

P menulis I dan T secara vertikal setelah sebelumnya huruf O dari kata MONUMENTAL yang ditulisnya sebelum ini mengisi kotak kedua dari atas, ini membuatnya yakin untuk mengisi IOTA untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Mengisi teka-teki silang semacam ini membuatnya teringat seseorang yang menulis fiksi balasan untuk tulisan si Kupat beberapa hari lalu. Seorang tokoh bernama Apes -yang entah tragedi nahas macam apa yang telah dialaminya hingga kawan-kawannya rela menyumpahi nama dia seperti itu- dalam sebuah dialognya menyebut 'Ja untuk seseorang yang menjadi dalang di balik tulisan tempo hari. Dalam kotak-kotak kosong TTS, Ja ia tebak sebagai dua kotak terakhir, menelisik pada terbatasnya klu yang diberikan maka tentu akan sangat sulit menebak nama yang menjadi jawaban atas pertanyaannya ditambah tidak jelasnya jumlah kotak yang harus ia isi. Tapi bagaimanapun keadaannya P akan tetap mengisinya.

Dengan beberapa pertimbangan, P memperkirakan namamu adalah Buja, akronim dari bujangan jadah atau Soja kependekan dari so jadah, atau barangkali Meja sebab alasan yang sederhana sekali; karena ibumu seorang pengagum Shakespeare.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan P untuk namamu padahal tidak patut untuk dipertimbangkan tersebut berikut. Pertama, misalnya jika pun kamu memang sudah lebih dari seribu kali melewati jalanan yang disebut dari buah-buahan itu, kamu tentu tidak akan menyamakannya dengan rak Borma karena ia tidak memiliki kerumitan seperti jalanan yang kamu lalui kecuali kamu memang seorang penggemar Richard Dawkins yang sering mengada-ngada. Kedua, dengan ketertarikan atas dasar frasa yang termuat dalam bukunya dan bukan dari nama penulisnya, yakni Etgar Keret, P mengasumsikan jika kamu bukan penggemar Dea Anugrah atau Sabda Armandio atau barangkali kebalikannya. Dari dua pertimbangan di atas P berkesimpulan jika kamu adalah orang yang kolot, menyebalkan dan sering mengada-ngada, maka P memilih bahwa namamu adalah JA atau lengkapnya Denny JA.

Seandainya pun tebakan P benar demikian, semua argumennya tentu akan patah dengan kegiatanmu yang membawa bungkus rokok setengah isi, korek, dan tas selempang. Tindakanmu yang lebih memilih berteman dengan Apes dan ingin meminjam bukunya lebih menekankan bahwa dirimu tidak memiliki kemampuan membuat kontroversi dengan uang sebagaimana orang yang ditengarai P tadi adalah dirimu. Jadi keputusan P adalah tetap mengisi TTS dan tidak memikirkanmu.

Menurut P, terkadang tidak semua hal harus dijabarkan, bukan begitu. Yang kita lakukan hanyalah mengira-ngira, persis seperti mengisi kotak-kotak kosong TTS dan menulis balasan ini untukmu, Ja, kita hanya bisa bertaruh untuk ketidakpastian. Jika yang pasti adalah mati, maka kita sebenarnya hanya bertaruh untuk membuat genangan-genangan kecil sebelum sebuah ban yang berputar melaju dengan kecepatan seratus lima puluh kilometer per jam menindas lalu memuncratkannya.

Dengan begini jelaslah kenapa P susah kamu hubungi dan lama sekali menyahut soal tulisan kawanmu yang ingin merayakan ulang tahun itu tempo hari.

Begitulah kiranya kegiatan yang kami lakukan akhir-akhir ini, jadi aku sebagaimana kawan-kawanku yang lain meminta maaf atas terlambatnya menulis balasan untukmu dan juga sekalian mengabarkan bahwa Kupat dan Billie tidak bisa menghadiri undangan kalian. Jika keadaan negara tetap seperti ini dan masih belum punya niatan baik untuk bertobat maka selama itulah pertemuan kalian tidak akan terlaksana.

Tuesday, November 5, 2019

Kesepian adalah Kata Pertama yang Akan Kita Ingat Andai Dunia Lebih Memilih Menjadi Kue Apem

Kesepian adalah Kata Pertama yang Akan Kita Ingat Andai Dunia Lebih Memilih Menjadi Kue Apem


Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.

Mari kita kembali ke wa terakhirmu sebelum aku menulis cerita ini.

Kau mengirimiku sebuah hasil tangkapan layar yang belum kuunduh sebab ini pertama kalinya sebuah gambar dikirim atas nama kontakmu. Memang tidak mudah menebak kebiasaanmu. Kau tidak pernah memiliki keinginan dan tidak menuntut apapun pada dunia ini selain seperti yang pernah kau katakan dengan nada bicara yang tak mengabarkan emosi jenis apapun -bahwa kau hanya ingin menonton bioskop dengan ibumu. 

Beberapa hari yang lalu, kau membagikan pesan berisi pranala yang tertaut ke sebuah situs pribadi milik seorang senior di kampusmu yang juga merangkap menjadi kawanmu. Dari puluhan daftar kontak yang dipilih acak olehmu, aku termasuk ke dalam penerima yang langsung membukanya. Aku membaca habis isi cerpen yang mirip anti-cerpen atau sebaliknya itu kurang dari lima belas menit. Waktu aku mulai membacanya aku miskin, dan setelah selesai membacanya aku tetap miskin. Ternyata cerita jenis apapun tidak membuat kita menjadi borju dalam sekejap.

Mungkin tulisanku selanjutnya ini akan terdengar sentimentil dan terasa sangat emosional bagimu, karena bagaimanapun kau tahu kejadian yang menimpaku tidak lama sebelum ini. Seorang pecundang, seberkilau apapun kalimat yang keluar dari mulutnya akan terdengar seperti kentut, begitu katamu ketika hubunganmu baru saja kandas dan aku meminta nasihat soal cinta kepadamu. 

Persis seperti anti-cerpen yang cerpen itu, semesta yang kita diami adalah dunia yang seolah-olah. Ia seakan memberimu beberapa pilihan untuk menjalani kehidupan ini padahal jalan ceritanya jelas dijejalkan ke depan mukamu dari awal. Ia mengencingimu namun kau terlambat menyadarinya. Cerita itu jelas bukan milik tokoh-tokoh Ika Natassa, cerita-cerita menjengkelkan itu untuk kita. Untuk kau, untukku, dan untuk kita semua para fakir dalam segala urusan di dunia ini yang tidak pernah gawat dan penting.

Kita berada di antara dunia yang seolah-olah memberikan kita pilihan dalam segala urusan. Tapi yang terjadi adalah aku ditolak perempuan berkali-kali dengan alasan muka yang kurang manusiawi. Ibu kost datang menggedor pintu kamarku seperti banteng kesurupan hanya karena tunggakanku lima bulan sebelumnya belum dibayar, ditambah setahun lagi. Dan, kebahagiaan tidak kunjung bertamu ke kamar kostku, entah karena dia takut disangka sebagai orang yang bertanggung jawab atas tunggakanku atau memang malas saja menemui orang yang masa depannya lebih buram dan berdebu dibanding pojokan rak buku perpus sekolah.

Jadi aku membalas wa-mu dengan beberapa kata pendek seperti “Itu siapa?”, “Apa urusan seorang laki-laki yang sedang duduk bersama perempuan berkacamata bulat yang tersenyum itu denganku?”, dan yang terpenting “Mengapa kau mengirimiku gambar itu?”.

Kau hanya membalas pesanku dengan singkat, “Itu dia,” dan sebuah emotikon yang barangkali digunakan oleh kaum pemuja Didi Kempot sedunia –gambar hati yang retak dan sebuah muka tanpa hidung yang tak jelas jenis kelaminnya sedang tersenyum. Maka langsung kubalas lagi pesanmu dengan beberapa kalimat panjang, kira-kira seperti inilah isi pesannya;

Pada suatu hari ulang tahunmu yang berbarengan dengan acara sekolah yang membuat guru tidak masuk kelas, kau berangkat dengan santai lebih lama daripada kebiasaanmu pergi sekolah. Kau adalah seseorang yang sudah tiga tahun belajar di sekolah itu, tapi itu adalah pertama kali langkahmu memasuki kelas disambut orang-orang di sana. Bahkan perempuan yang duduk di bangku depan yang selalu tremor ketika kauajak bicara, histeris. Okelah, ia memang selalu histeris, tapi ini jelas berbeda. Lebih melengking dari histeris. Semua orang bangkit dari duduknya dan menghampirimu, menyambutmu seakan kau salah seorang pemain bola asal daerah yang baru saja membawa negaranya juara dunia. "Halo, selamat pagi!" Kau mendengar seorang lelaki kurus berjaket kw dengan rambut bergaya emo berseru padamu dari jarak dekat. Kau sadar kau terlambat satu jam, tapi tentu ada cara menegur yang lebih manusiawi. Kuping kananmu pengang, pipimu basah terciprat ludahnya. Kau belum sempat melakukan pertolongan pertama pada keduanya karena kuplukmu telanjur ia tarik dan kau dipaksa duduk di bangku paling depan. Aroma kue menguar dan lilin dinyalakan lalu kau meniupnya sebelum beberapa menit selanjutnya kau akan saling pukul dan mematahkan hidung teman yang pertama mendaratkan kue penuh krim di mukamu. Kau dibawa ke ruang BK dan di sana mereka menceramahimu seperti keledai yang hilang akal.

Kau masih mengingat percakapan dengan ibumu pagi tadi. Ia bercerita tentang dagangannya yang ditinggalkan dan tak bisa menjaga dirinya sendiri. Malam sebelumnya ia dibobol oleh seseorang yang kedapatan di kamera cctv menggunakan tang untuk melepas gembok yang dipasang ibumu. Seseorang itu adalah pelanggan yang sering belanja di sebelah toko tempat ibumu berjualan. Namun, pemilik toko yang sudah menganggap pelaku dalam cctv itu langganan, merasa pelanggannya tidak mungkin melakukan hal tercela seperti demikian dan memilih mengelak dan membela dan memaksa ibumu diam andai dia masih ingin tenang berjualan di tempatnya kini, di depan toko mas yang sudah pasti bukan milik orang sini. Dalam beberapa jam ke depan kau mulai membenci orang-orang di sekitarmu dan lebih memilih mencintai orang asing yang mengasihi keluargamu.


Dari caramu bercerita waktu itu dan tatapanmu yang mirip seperti bekantan yang putus asa terhadap keserakahan manusia seharusnya aku mengerti bahwa dunia yang kita diami bukanlah dunia yang semestinya. Tapi dengan alasan apapun kita harus menyiasatinya. Luka perang yang menyebabkan Jake Barnes impoten tidak menghalangi cintanya terhadap Ashley, dan Cohn yang menyembunyikan rasa rendah dirinya dengan terus-menerus bertinju. Kau pun mesti punya alasan sendiri untuk terus melanjutkan hidup.

Aku menuliskan kalimat balasan selanjutnya kepadamu jika kau merasakan kesepian, sepertiku. Andai dunia memang diciptakan supaya kita mengerti bahwa ada hal-hal yang tidak akan terdefinisikan kau boleh lanjut membacanya. Namun, kalau memang kau tidak berkenan mengakuinya dan lebih memilih berganti ke aplikasi pamer foto dan video paling toxic, kau tetap akan membacanya sebab aku tetap harus menyelesaikan kalimat ini.

Seolah-olah kita memiliki sebuah pilihan. Maut, cinta, dan kesepian adalah hal-hal abstrak yang berada di luar jangkauan hitungmu, mereka bisa tiba-tiba datang dan mengacaukan segala hal yang kau susun rapi dan terstruktur jauh-jauh hari. Tapi kau jelas tahu dan sering mengakalinya dengan berpikir bahwa kau masih akan menghela napas dan memandang langit yang sepia seperti pandangan ibumu, dua jam ke depan. Kau memandang jauh ke seberang jalan dan berharap hujan akan membawakanmu payung lewat seorang perempuan. Seolah-olah kau bisa membeli kebahagiaan dengan menghabiskan seluruh isi dompet dan membikin rumah penuh sesak dan menyalakan suara-suara paling kencang yang akan membuat telinga pengang. Seolah-olah kau tidak sendirian dan akan terus seperti itu.

Kau lupa dan selalu melupakan bahwa kesepian adalah kata kerja, dan kata kerja akan tetap bekerja meski kau sibuk mengurusi dan mengerjakan hal sia-sia.