Sunday, September 15, 2019

Ceu Kokom, Kopi Priangan, dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai

Ceu Kokom, Kopi Priangan, dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai



Sesekali minumlah kopi, agar kau tau menunggu tak selalu manis”.

Bandung malam hari adalah sebuah puisi, saya tidak bisa mendeskripsikannya secara rinci namun kenyamanannya terasa sekali. Sepanjang jalan menyusuri kota Bandung saya ditemani oleh kelengangan dan agak sedikit dingin. Lampu-lampu kota menyala dan memberikan jalan untuk berburu kopi Priangan.
Kopi Priangan sendiri adalah kopi yang berasal dari pegunungan-pegunungan di dataran Jawa Barat. Kopi ini dihasilkan oleh para petani kopi Jawa Barat dan kini sedang menjadi primadona dan digunjingkan di mana-mana.
Secara serentak dalam beberapa tahun terakhir, telah menjamur kedai-kedai kopi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Bandung. Kondisi tersebut terjadi akibat kecendrungan masyarakat yang tiba-tiba saja menyukai kopi setelah tayangnya film “Filosofi Kopi”. Budaya ngopi juga sampai kepada remaja-remaja Bandung, kota yang menjadi jantungnya Jawa Barat, tempat Kopi Priangan itu lahir.
Saya sedang mengunjungi satu per satu kafe di Bandung yang saya pikir menyediakan kopi Priangan, sebab saya penasaran dengan rasanya setelah mendengar kabar bahwa kopi Priangan kembali berjaya dalam khazanah perkopian dunia. Saya menemukan sebuah kafe yang menarik di sekitar jalan PH. H Mustofa nama kafenya “Kopi Truk”, jaraknya mungkin sekitar 8 km dari bandara Husein, tiga puluh menitan bila ditempuh menggunakan mobil.
Konsep kafenya cukup unik, pemiliknya memberi ornamen-ornamen truk di setiap sudut kafe, ada ban-ban besar yang dijadikan pajangan, tempat memesan yang dipasang kepala truk serta tong-tong kosong yang dijadikan meja. Namun sayang, apa yang tengah saya cari tidak tersedia di sini. Maka berangkatlah lagi saya menembus dinginnya malam kota kembang ini.
Setelah memutar roda cukup jauh dan lelah bertanya kepada manusia sebab tak ada jawabnya, akhirnya saya memutuskan untuk gugling sebagai tanda keputusasaan. Tersebutlah dalam daftar “Warung kopi – WKCK”, WKCK sendiri merupakan kepanjangan dari “Warung Kopi Ceu Kokom”, tempatnya berada di kawasan villa Bandung Indah Cileunyi, hanya satu kilometer dari gerbang tol Cileunyi.
Menurut kabar yang diedarkan di gugel, hampir 80% menu kopi yang tersedia di sini adalah kopi yang berasal dari Jawa Barat, yang berarti hampir semua kopi di sini adalah kopi Priangan. Maka tanpa pikir panjang saya langsung meluncur ke sana.
Tempatnya sejuk, sangat enak dipakai ngopi karena berada sedikit lebih tinggi, dekat ke kaki gunung. Fasilitas dan tempat yang disediakan juga cukup instagramable bagi mereka yang ingin sekadar unggah mengunggah. Suasana yang terasa di sini tenang, damai, sebab jauh dari jalanan yang sibuk. Kafe ini lengkap menyediakan beragam masakan serta variasi minuman yang lain apabila kalian lapar dan tidak menyukai kopi murni.
“Jadi Warung Kopi Ceu Kokom ini lahir dari kebiasaan bapak-bapak di sini yang sering ngumpul-ngumpul lalu ngopi sehabis salat atau istilahnya ‘kopi morning’, ‘Kokom’ di sini artinya komunitas kopi morning. Ditambah eceu-ecuean supaya gampang diingat dan menarik perhatian”. Kata Yoga (25 tahun), seorang headbar di kafe ini.
WKCK buka dari Senin-Kamis pukul 15.00-23.00, sedangkan pada hari Jumat-Minggu buka lebih awal yaitu pukul 10.30. Sayangnya saya mesti kembali kehabisan menu yang diinginkan, memang kesalahan saya sendiri sebab terlalu malam sampai di sini dan kebetulan pula stok kopi Priangannya sedang kosong, jadilah saya tidak bisa mencicipinya dan akhirnya Yoga bersedia menemani berbincang untuk mengusir rasa kecewa saya. Dia terlebih dahulu menawarkan menu yang dirasanya cocok untuk pemula seperti saya, tentunya setelah saya juga menjelaskan pengalaman ngopi saya yang nol besar itu.
Kata Yoga ini kopi Gayo yang diracik dengan metode ‘V60’. Bagi yang bukan penikmat kopi seperti saya, mencicipi rasa kopi yang asam seperti ini agak sedikit menyiksa lidah, andai tidak penasaran barangkali saya tidak akan mencicipinya sampai sekarang, karena lidah saya sudah terlanjur sering mengecap yang manis.
“Kopi Priangan sekarang sedang naik kelas,” Kata Yoga, entah kenapa ia memilih kata naik kelas “Semenjak tahun 2016 para petani kopi Priangan telah diberi wawasan oleh pemerintah daerah agar memetik buah yang sudah berwarna merah, karena itulah buah yang terbaik untuk dipanen”.
Jadi seperti apa sebenarnya rasa kopi priangan sesungguhnya? Maka beginilah penjelasan Yoga, “Kopi Priangan mempunyai aroma yang lumayan kuat namun terkstur kopinya tidak sekuat kopi-kopi Sumatra. Kopi Sumatra cenderung lebih strong rasanya, sementara kopi Priangan tidak terlalu, dan barangkali itulah yang menyebabkan kopi Priangan naik kelas saat ini”.
Dari kebanyakan masyarakat Bandung yang saya temui, kebanyakan dari mereka belum mengetahui mengenai kopi Priangan ini. Padahal konon ekspor kopi pertama Indonesia yang menghidupi Belanda hampir 75% pada masa itu adalah kopi Priangan.
Lantas alasan apa yang membuat kopi Priangan itu kurang popuer dibandingkan kopi-kopi lain di Indonesia? Usut punya usut ternyata memang budaya ngopi di tanah sunda tidak sekuat masyarakat Sumatra. Di samping itu harga kopi Priangan yang lebih mahal jika dibandingkan kopi-kopi lain juga bisa menjadi pertimbangan. Dua hal itulah yang menjadi penyebab utama mengapa Kopi Priangan tidak populer di kampung halamannya sendiri.
Barangkali saya belum bisa merasakan nikmatnya kopi Priangan, namun dari deskripsi orang-orang kiranya tergambarlah bagaimana rasa kopi yang kini citranya tengah naik dan menjadi primadona dalam khazanah perkopian Indonesia bahkan dunia ini. Karena di awal saya mengutip dialog dari film Filosofi Kopi, kiranya lebih afdal apabila tulisan ini diakhiri oleh kutipan juga dari salah satu tokoh penyuka kopi.
Hahaha, kurangin tidur, banyakin ngopi”.

Thursday, September 12, 2019

Cita-citaku

Cita-citaku


Sebelum tumbuh dan sadar bahwa saya adalah salah seorang manusia yang dikutuk menjadi bagian dari orang-orang yang tidak memiliki ketahanan dan kekuatan fisik yang mumpuni, saya langsung mengganti harapan idealis dari ingin menjadi seorang atlet menjadi seorang yang biasa-biasa saja. Hidup begitu santai, dan hanya itu yang saya pikir.
            Selepas hidup dalam bayang-bayang menjadi seorang manusia yang biasa saja, beberapa tahun sebelum saya memutuskan ingin menjadi seorang atlet, saya pernah berkeinginan menjadi seorang guru yang jahat. Hal yang saya pikir kala itu dan akan saya realisasikan pertama ketika sah menjadi guru adalah menghukum atau lebih tepatnya iseng terhadap seorang murid yang kelak saya ketahui bahwa hal semacam itu adalah tidak baik, sangat tidak baik. Begini.
            Saya akan memarahi dan mengeluarkan maki-makian yang tak akan tanggung seandainya banyak murid yang tololnya kebangetan, barangkali ini juga dilatarbelakangi oleh sikap gemas saya terhadap segala kelakuan bodoh manusia yang sebenarnya bisa tidak ia lakukan sebagai seorang manusia. Setelah puas memarahi murid-murid bodoh tadi, hal selanjutnya yang akan saya lakukan adalah memeriksa tugas mereka. Dan andai ada seorang murid yang benar-benar bodoh lagi dalam melaksanakan tugas untuk anak seusianya, saya akan suruh dia ke depan untuk mengambil buku tugasnya. Ketika dia tiba tepat di depan dan sejengkal lagi tangannya akan mendapatkan buku miliknya itu, saya akan melemparnya ke belakang, jauh ke belakang sambil membayangkan sebuah adegan slow motion buku tersebut lewat di hadapan muka si murid dan ia hanya melongo menampakkan wajah tololnya sambil melihat buku itu melewatinya.
            Beberapa bulan sebelum saya bercita-cita menjadi seorang guru berwatak antagonis dan lebih condong sebagai seseorang yang akan menjadi musuh setiap murid, saya pernah memiliki harapan pada Tuhan untuk menjadikan saya seorang pemain sepak bola. Keinginan ini tentu tidak terlepas dari hobi yang hampir saya lakukan setiap sore bersama kawan-kawan kecil saya, namun ada faktor lain yang lebih krusial, bahwa negeri ini butuh seorang jenius dalam dunia sepak bola dan sayalah orangnya. Negara miskin yang gemar berkelahi ini butuh harapan, dan sayalah orangnya. Pendeknya Negara ini butuh saya dan saya sangat dibutuhkan oleh negara ini.
            Hidup terus berjalan hingga tibalah hari ini, beberapa detik sebelum saya menuliskan cerita pendek ini, ada satu hal yang ingin saya lakukan. Sesuatu yang memiliki efek kejut sekaligus memberikan kesenangan seperti mencuri buah mangga milik tetangga, maka terbersitlah sebuah pikiran bahwa sepertinya berbohong enak juga. Maka dimulailah sebuah cerita bohong saya mengenai cita-cita yang agaknya tidak bagus dan kurang menarik untuk dibaca, kalimat pembukanya saja ditulis seperti ini “Sebelum tumbuh dan sadar bahwa saya adalah salah seorang manusia yang dikutuk menjadi bagian dari orang-orang yang tidak memiliki ketahanan dan kekuatan fisik yang mumpuni, saya langsung mengganti harapan idealis dari ingin menjadi seorang atlet menjadi seorang yang biasa-biasa saja.”

Tuesday, September 10, 2019

Hari Paling Menjengkelkan Bagi Supporter Garis Lucu Se-Indonesia

Hari Paling Menjengkelkan Bagi Supporter Garis Lucu Se-Indonesia

Saya adalah satu di antara jutaan penonton Timnas Indonesia yang kecewa atas permainan tim secara keseluruhan juga hasil akhir yang bukan hanya membuat frustrasi dan ingin segera pergi menjauh dari layar televisi, tapi juga membuat kita semua lagi-lagi harus menghadapi hujatan-hujatan dan hinaan-hinaan yang sudah mafhum kita temui setiap kali 'kekalahan' menjadi hasil akhir dari sebuah pertandingan.

Indonesia kalah nol tiga, kalah telak oleh Timnas Thailand dalam kualifikasi Piala Dunia 2022. Gawang Andritany dibobol tiga kali dan kesebelasan kita tidak berhasil membalas satu pun gol itu, tidak satu pun. Padahal sebagai tuan rumah, Timnas kita memiliki banyak keuntungan dibanding Thailand yang notabene adalah tim tamu dan tentunya mendapat lebih sedikit dukungan, lebih tertekan juga -sebab beberapa hari sebelumnya ada oknum pendukung Timnas kita yang membuat tidak nyaman tim tamu yang bertandang.

Tapi begitulah, kalah tak dapat ditolak, menang tak dapat diraih. Apa yang akan terjadi setelah ini adalah sesuatu yang sudah bisa dan biasa kita tebak, sebab kejadian seperti ini selalu memiliki alur yang sama, persis, dan konsisten dilakukan oleh para pendukung fanatik "yang peduli" pada kesebelasan garuda di dada.

Barangkali untuk lebih memperlihatkan bagaimana dan sejauh apa rasa jengkel yang akan kami alami sekira 24 jam ke depan akan saya jabarkan sedikit. Pertama, tulisan-tulisan satir dan sarkazem sudah pasti muncul di beberapa akun basis pendukung yang agak kalem tapi ingin ikut menghujat. Akun lain memasang foto pelatih dengan caption 'DOUBLE KILL BOSS!!!". Puluhan akun membagikan video gol-gol Thailand dengan sedikit bumbu-bumbu penyedap bangsat. Yang lainnya akan mengatakan ganti pemain ini, si itu cacad maennya, dan seterusnya. Pokoknya linimasa media sosial kami akan dipenuhi hujatan serta maki-makian yang tak tanggung jumlahnya.

Hujatan serta makian-makian yang tak tanggung jumlahnya terus-menerus muncul di linimasa media sosial. Entah itu dalam bentuk meme, postingan yang secara gamblang menyalahkan satu-dua pemain, atau adapula yang memosting sebuah gambar yang memancing ruang diskusi penuh makian netijen penikmat bola yang budiman.

Jika itu belum terlalu membuat jengkel kalian sebagai warga negara yang tidak peduli seberapa sering timnas sepak bola kita kalah dan kalah, tunggu sampai kalian tahu apa yang akan terjadi ketika hasil akhir yang didapat adalah sebaliknya -kemenangan.

Pujian, doa-doa terbaik bagi keluarga, angin-angin surga, giveaway dibagikan dan baik yang membagikan dan mendapatkan sama-sama senang. Linimasa kami akan damai, tentram, dan biasanya hal-hal semacam blunder pemain pun akan dimaafkan andai yang didapat adalah sebuah kemenangan. Tidak ada diksi-diksi jahat, semua baik, semua baik, semua menjadi orang baik.

Kalian tahu, menjadi supporter garis lucu macam saya dan barangkali juga kawan-kawan garis lucu lain menjadi semakin sulit andai harus terus menghadapi hari-hari menjengkelkan semacam itu. Tidak cukup hanya kecewa oleh para pemain di lapangan, kita juga harus dibuat jengkel oleh kelakuan suppoerter kita di luar lapangan dengan perseteruan dan ujaran penuh kebenciannya. Kegemaran berujar dengan frontal yang dilakukan atas dasar kecintaan pun hanya akan menimbulkan keresahan-keresahan dan membuat mood para supporter buruk dengan segala macam postingan yang berisi ujaran kebencian semacam itu. Kami yang tidak pernah ikutan menghujat dan hanya turut senang tanpa melakukan apa pun ketika menang hanya bisa berharap jika pun perilaku semacam itu tidak bisa hilang, toh berkurang pun tak apalah.

Tapi seberapa pun kecewanya kami dan mereka sebagai supporter garda terdepan, berapa kali pun kalah, berapa tahun tanpa gelar pun, kami selalu kembali, mendukung, kecewa, mendukung lagi, kecewa lagi, mendukung dan mendukung lagi. Meski pada dasarnya kita bisa saja tidak peduli. Kita selalu bisa memilih, selalu bisa.




Saturday, September 7, 2019

Ingatan Masa Kecil: Puisi-puisi Billie U

Ingatan Masa Kecil: Puisi-puisi Billie U



Pulang ke Cicurug

Kau menyebut beberapa nama:
Bandung. Bogor. Jakarta.
dari banyak kata dan kota
yang kau ingat, tidak ada
Cicurug di sana.

seseorang dari kaca
sebuah bis yang kau naiki
meraba-raba masa lalumu.

kau melihat pemandangan
dari jendela yang jauh.
perkara sawah yang musnah
tentang kawan yang menjadi tenaga perah
dongeng orang-orang yang haus
dan harus membayar air dari keringatnya sendiri.

ia ingin mengabarimu,
bahwa tanah yang kau tinggalkan
sedang tidak baik.

Hari ini, dari balik kemudi
kolmini kau dipaksa mengingat lagi.
Kenanganmu, sebuah tanda
yang tak bisa kau hapus namanya.

Hari ini rumah kecilmu: Cicurug
memanggilmu lagi.

Mungkin kau telah lupa,
dengan angkot 02. Meski
sebenarnya sikapmu sama dengannya:
membenci keramaian dan kelambanan.

Mungkin kau tidak akan tahu
bahwa antara kemacetan dan
kau –hampir mirip. Kalian berang
pada tol yang tidak bisa
dinikmati.

Sesungguhnya, kau pun tahu
dari mana dan ke mana
harus pergi dan
pulang.
andai.


Ingatan Masa Kecil

Kembali menjelma
menjadi kata rasa. Kata
kerja sudah tidak kau butuhkan
siang ini.

Sebuah luka membuat 
ingatanmu sadar. Hari
ini. setelah seharian 
menjadi orang kota:
sibuk dan membosankan.

Kau pernah takut dan
membuat perisai untuk
hari ini. Hari ketika
kau kembali menengok
dendam dan keinginan
yang terhalang oleh 
tradisi dan ekonomi.

Bertahun-tahun Kau
membangun tembok khayali
untuk menghilangkan dan 
menghalangi ingatan 
masa kecilmu ini.

Tapi, kau lupa.
Ingatan bukanlah prajurit
berbaju zirah atau seekor
kecoa yang terpeleset
dari kabin pesawat terbang.

Ingatan meresap ke dalam
tubuhmu lebih lamban
dan lebih tajam. Sampai
kau tidak sadar ada sesuatu
yang memenuhi mangkuk
kesedihanmu.

Tapi pula, kau
bisa memilih. Selalu 
bisa. melupakannya
atau meluapkannya.
Silakan!



Pagi Setelah Kau Berjalan Jauh

Kau pernah kenal
pagi seperti ini. Aroma masakan
ibu, desis sungai di kejauhan, suara
adzan subuh, dan angin mabuk yang
menggerakkan padi Pak Haji.

Kau kenal pagi seperti ini sebelum
kau pergi jauh. Pagi yang sama
ketika kau memutuskan berjanji
pada diri sendiri tentang segala
hal yang akan kau lakukan
di kota nanti.

Pagi ini kau diam. kau berhenti
sejenak. setelah berjalan jauh. Sebab
kau baru saja menyadari
bahwa apa yang kau inginkan
ternyata tidak kau butuhkan, dan
apa yang kau cari tidak
akan pernah kau temukan.

Sebelum kau pergi jauh, Ibumu
memberi nasihat singkat. kau ingat. 
Sebuah pesan yang harus kau ingat
pagi ini: “sebelum pergi, 
kau harus menghapal jalan pulang.”



Di Hari Kematianmu

Kau memilih mati hari
minggu. Karena katamu, 
“temanku banyak yang
online hari itu”. Barangkali
kau lupa, bahwa
orang-orang sangat sibuk
pada hari selain minggu.
Maka minggu kaupilih
meski sedikit dengan dalih.

Tidak ada teman-teman
medsos yang mengunjungimu.
Kau dimandikan tetangga;

Teman waktu kecil yang
pernah kau ejek masa depannya.


Pada hari minggu.
Di hari yang telah kau piliih,
Kau mati. tanpa pernah tahu
antara kau dan tempat
tinggalmu: siapa yang
sebenarnya butuh dan
dibutuhkan.

Tiga Panggilan Penting


Di masjid megah yang mengadakan tabligh akbar
Teleponmu berdering. maka kaubiarkan.
kembali berdering. kau menyenyapkannya.
waktu itu kau  sedang mencoba menarik air mata keluar
dari jutaan mata yang menonton.
menggunakan kekuatan kata-kata
kau berbicara dan berusaha menyayat
hati orangorang dengan satu kata
yang tetap bisa membuat orang dewasa
menangis: Ibu

Kemudian kau tertawa seraya
membayangkan nasibnya
yang renta, kesepian, dan sering
sakit-sakitan. Maka kau teringat pesan ibumu:
“pulanglah. Kau tak perlu merasa asing
di rumahmu sendiri”
kemudian,.
Teleponmu kembali bergetar
muncul wa dari ayahmu:
“ibumu mati. sendirian. pulanglah!
kau tak asing bukan, dengan ibumu sendiri”

sebelum kau menyesal dan mematikannya
teleponmu mengabari bahwa
ada panggilan tak terjawab dari
Ibumu…
Ibumu..
Ibumu.
kemudian (pesan) ayahmu.