Ceu Kokom, Kopi Priangan, dan Hal-hal yang Tak Pernah Selesai
Bandung malam hari adalah sebuah puisi, saya tidak
bisa mendeskripsikannya secara rinci namun kenyamanannya terasa sekali. Sepanjang
jalan menyusuri kota Bandung saya ditemani oleh kelengangan dan agak sedikit
dingin. Lampu-lampu kota menyala dan memberikan jalan untuk berburu kopi
Priangan.
Kopi Priangan sendiri adalah kopi yang berasal dari
pegunungan-pegunungan di dataran Jawa Barat. Kopi ini dihasilkan oleh para
petani kopi Jawa Barat dan kini sedang menjadi primadona dan digunjingkan di
mana-mana.
Secara serentak dalam beberapa tahun terakhir, telah
menjamur kedai-kedai kopi di berbagai kota di Indonesia, termasuk Bandung.
Kondisi tersebut terjadi akibat kecendrungan masyarakat yang tiba-tiba saja
menyukai kopi setelah tayangnya film “Filosofi Kopi”. Budaya ngopi juga sampai kepada remaja-remaja
Bandung, kota yang menjadi jantungnya Jawa Barat, tempat Kopi Priangan itu
lahir.
Saya sedang mengunjungi satu per satu kafe di Bandung
yang saya pikir menyediakan kopi Priangan, sebab saya penasaran dengan rasanya
setelah mendengar kabar bahwa kopi Priangan kembali berjaya dalam khazanah
perkopian dunia. Saya menemukan sebuah kafe yang menarik di sekitar jalan PH. H
Mustofa nama kafenya “Kopi Truk”, jaraknya mungkin sekitar 8 km dari bandara
Husein, tiga puluh menitan bila ditempuh menggunakan mobil.
Konsep kafenya cukup unik, pemiliknya memberi ornamen-ornamen
truk di setiap sudut kafe, ada ban-ban besar yang dijadikan pajangan, tempat
memesan yang dipasang kepala truk serta tong-tong kosong yang dijadikan meja.
Namun sayang, apa yang tengah saya cari tidak tersedia di sini. Maka
berangkatlah lagi saya menembus dinginnya malam kota kembang ini.
Setelah memutar roda cukup jauh dan lelah bertanya
kepada manusia sebab tak ada jawabnya, akhirnya saya memutuskan untuk gugling sebagai tanda keputusasaan.
Tersebutlah dalam daftar “Warung kopi – WKCK”, WKCK sendiri merupakan
kepanjangan dari “Warung Kopi Ceu Kokom”, tempatnya berada di kawasan villa Bandung
Indah Cileunyi, hanya satu kilometer dari gerbang tol Cileunyi.
Menurut kabar yang diedarkan di gugel, hampir 80% menu kopi yang tersedia di sini adalah kopi yang
berasal dari Jawa Barat, yang berarti hampir semua kopi di sini adalah kopi
Priangan. Maka tanpa pikir panjang saya langsung meluncur ke sana.
Tempatnya sejuk, sangat enak dipakai ngopi karena berada
sedikit lebih tinggi, dekat ke kaki gunung. Fasilitas dan tempat yang
disediakan juga cukup instagramable bagi
mereka yang ingin sekadar unggah mengunggah. Suasana yang terasa di sini
tenang, damai, sebab jauh dari jalanan yang sibuk. Kafe ini lengkap menyediakan
beragam masakan serta variasi minuman yang lain apabila kalian lapar dan tidak
menyukai kopi murni.
“Jadi Warung Kopi Ceu Kokom ini lahir dari kebiasaan
bapak-bapak di sini yang sering ngumpul-ngumpul lalu ngopi sehabis salat atau
istilahnya ‘kopi morning’, ‘Kokom’ di
sini artinya komunitas kopi morning.
Ditambah eceu-ecuean supaya gampang diingat
dan menarik perhatian”. Kata Yoga (25 tahun), seorang headbar di kafe ini.
WKCK buka dari Senin-Kamis pukul 15.00-23.00,
sedangkan pada hari Jumat-Minggu buka lebih awal yaitu pukul 10.30. Sayangnya
saya mesti kembali kehabisan menu yang diinginkan, memang kesalahan saya
sendiri sebab terlalu malam sampai di sini dan kebetulan pula stok kopi
Priangannya sedang kosong, jadilah saya tidak bisa mencicipinya dan akhirnya Yoga
bersedia menemani berbincang untuk mengusir rasa kecewa saya. Dia terlebih dahulu
menawarkan menu yang dirasanya cocok untuk pemula seperti saya, tentunya
setelah saya juga menjelaskan pengalaman ngopi saya yang nol besar itu.
Kata Yoga ini kopi Gayo yang diracik dengan metode ‘V60’. Bagi yang bukan penikmat kopi
seperti saya, mencicipi rasa kopi yang asam seperti ini agak sedikit menyiksa
lidah, andai tidak penasaran barangkali saya tidak akan mencicipinya sampai
sekarang, karena lidah saya sudah terlanjur sering mengecap yang manis.
“Kopi Priangan sekarang sedang naik kelas,” Kata Yoga,
entah kenapa ia memilih kata naik kelas “Semenjak tahun 2016 para petani kopi
Priangan telah diberi wawasan oleh pemerintah daerah agar memetik buah yang
sudah berwarna merah, karena itulah buah yang terbaik untuk dipanen”.
Jadi seperti apa sebenarnya rasa kopi priangan
sesungguhnya? Maka beginilah penjelasan Yoga, “Kopi Priangan mempunyai aroma
yang lumayan kuat namun terkstur kopinya tidak sekuat kopi-kopi Sumatra. Kopi
Sumatra cenderung lebih strong
rasanya, sementara kopi Priangan tidak terlalu, dan barangkali itulah yang
menyebabkan kopi Priangan naik kelas saat ini”.
Dari
kebanyakan masyarakat Bandung yang saya temui, kebanyakan dari mereka belum
mengetahui mengenai kopi Priangan ini. Padahal konon ekspor kopi pertama
Indonesia yang menghidupi Belanda hampir 75% pada masa itu adalah kopi
Priangan.
Lantas
alasan apa yang membuat kopi Priangan itu kurang popuer dibandingkan kopi-kopi
lain di Indonesia? Usut punya usut ternyata memang budaya ngopi di tanah sunda
tidak sekuat masyarakat Sumatra. Di samping itu harga kopi Priangan yang lebih
mahal jika dibandingkan kopi-kopi lain juga bisa menjadi pertimbangan. Dua hal
itulah yang menjadi penyebab utama mengapa Kopi Priangan tidak populer di
kampung halamannya sendiri.
Barangkali
saya belum bisa merasakan nikmatnya kopi Priangan, namun dari deskripsi orang-orang
kiranya tergambarlah bagaimana rasa kopi yang kini citranya tengah naik dan
menjadi primadona dalam khazanah perkopian Indonesia bahkan dunia ini. Karena
di awal saya mengutip dialog dari film Filosofi Kopi, kiranya lebih afdal
apabila tulisan ini diakhiri oleh kutipan juga dari salah satu tokoh penyuka
kopi.
“Hahaha, kurangin tidur, banyakin ngopi”.




